"Gara - Gara STIBA"

Sebut saja saya Arya, saya anak pertama dari dua bersaudara. Saya dan adik saya hidup bahagia pada sebuah rumah yang dibalut Kasih sayang dari kedua orang tua saya, fasilitas sudah jelas saya dapatkan, minta ini minta itu Alhamdulillah terpenuhi. Hari-harikupun seperti layaknya remaja pada umumnya, sekolah-rumah-main kerumah teman (tapi bukan pergaulan bebas, Alhamdulillah).

Sekolah merupakan aktivitas rutin saya yang banyak memakan waktu. Gimana tidak, disamping sekolah merupakan bagian amanah dari ortu, tugas dan eskul merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas saya. Dari gerbang abu-abu inilah kebahagian yang selama ini saya dapatkan berubah jadi kesedihan.


Adalah seorang yang buat saya berpenampilan aneh (celana tergantung plus jenggot yang panjang terurai) menyapa saya dengan senyuman khas dan sapaan yang mengalir sampai kedalam lubuk hatiku “Assalamu ‘alaikum” saya cuman bisa tersenyum kecut dan menjawab seadanya “wa’alaikum salam”. Dalam benakku berkata “orang ini sok kenal banget yah?”. Tapi Alhamdulillah karena adanya orang yang sok kenal itulah hari-hariku saat ini begitu indah.

Kegiatan tarbiyahpun saya jalani bersama ustadz yang menyapa saya tadi yang kami sebut sebagai murabbi. Bukan hanya tarbiyah yang saya jalani tapi juga berbagai kegiatan dakwah yang ada disekolah.  Seiring berjalannya waktu kegiatan tarbiyah dan dakwah yang saya jalani diketahui oleh orangtua di rumah. Saat itu juga orangtua sering menegur saya dengan aktivitas ini, tak ayal saya sering merahasiakan kegiatan-kegiatan dakwah yang saya jalani kepada beliau. Kecintaan dengan Islam ini mendorong aktivitas tarbiyah saya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, saya khawatir orangtua tambah berang apabila beliau tahu hal ini.

Menganjak kelas tiga SMA sikap orangtua saya terhadap kegiatan ini masih belum berubah hingga saya menyelesaikan study di bangku SMA. Tidak sampai disini saja, saya bertekad kuat untuk melanjutkan kuliah pada salah satu Ma’had di Jawa Barat (walupun harus berbenturan dengan keinginan kedua orangtua saya yang melarang kuliah ditempat tersebut). Alhamdulillah saya lulus di Ma’had tersebut, berjalan dua bulan saya merasa sangat menyesal dan merasa bersalah dengan sikap saya kepada orangtua. Saya memutuskan untuk keluar dari Ma’had tersebut dan kembali kepada orangtua saya untuk meminta maaf.

Keluar dari Ma’had bukan berarti semangat saya menuntut ilmu sayr’I mengendor, malah saya makin semangat dan membagi semangat itu dengan membina adik-adik yang ada di sekolah. Tapi lagi-lagi orangtua saya masih tetap pada pendiriannya. Akhirnya orangtua menyarankan agar kuliah di salah satu perguruan tinggi islam di kota saya, demi menyenangkan hati beliau sayapun mendaftar di PT dan kuliah disana. Tidak tahan dengan ikhtilat di kelas, akhirnya hanya satu bulan saya bisa bertahan kuliah disana.

Saya tidak pernah putus asa, saya terus berusaha mengambil hati orangtua saya dengan tujuan agar saya tetap diizinkan tetap tarbiyah dan ikut pengajian-pengajian (nikmatnya islam membuat saya hanyut dengan ilmu syar’i). tapi lagi-lagi bukan ijin yang kudapatkan melainkan kecaman yang lebih keras lagi dari beliau.

Selama waktu itu saya tetap aktif dengan kegiatan saya meskipun main kucing-kucingan dengan orang yang paling saya hormati. Takdir Allah memperdengarkan diri saya dengan sebuah Ma’had yang ada di Makssar yang saya ketahui bernama STIBA. Saya meminta ijin kepada orangtua untuk kuliah disana agar ilmu syar’i saya lebih dalam (dengar-dengar juga ada peluang lanjut keperguruan tinggi ke Universitas-universitas di  Timur Tengah melaui STIBA ini). Dugaanku meleset jauh, orangtua  melarang keras  untuk kuliah di STIBA bahkan beliau mengancam untuk memboikot segala keperluan kuliah dan hidup saya. saya tidak lagi mendapatkan jatah bulanan bahkan Saya dilarang menginjakkan kaki dirumah dimana saya dibesarkan dengan kasih sayang mereka.

Masalah ini saya ajukan ke Murabbi saya, Alhamdulillah ada jalan. Salah satu lembaga dakwah menyanggupi dana keberangkatan dan kuliah saya. akhirnya saya dan dua orang teman saya berangkat ke Makassar menuju kampus idaman saya yakni STIBA.

Dalam hati kecil saya, sangat yakin kalau kemarahan orangtua hanya sementara. Betul, selang beberapa hari orangtua saya menelpon dan menanyakan kondisi kesehatan dan kondisi keuangan saya. saya mengucap syukur dan mengatakan kepada beliau “ibu…tidak usah repot-repot, disini Alhamdulillah saya sehat dan biaya kuliah serta hidup saya ada yang bantu”

Saya semakin mantap untuk kuliah ditempat ini, Saya pernah diingatkan oleh teman saya tentang Firman Allah Surah abasa ayat  33-37


 فَإِذَا جَآءَتِ ٱلصَّآخَّةُ (٣٣) يَوۡمَ يَفِرُّ ٱلۡمَرۡءُ مِنۡ أَخِيهِ (٣٤)وَأُمِّهِۦ وَأَبِيهِ (٣٥) وَصَـٰحِبَتِهِۦ وَبَنِيهِ (٣٦) لِكُلِّ ٱمۡرِىٍٕ۬ مِّنۡہُمۡ يَوۡمَٮِٕذٍ۬ شَأۡنٌ۬ يُغۡنِيهِ (٣٧)


Artinya “ maka apabila datang suara yang memekakan (tiupan sangkakala yang kedua)(33). Pada hari itu manusia lari dari saudaranya(34). Dan dari ibu dan bapaknya(35). Dan dari istri dan anaknya(36). Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkan(37)”

Perjuangan ini tidak akan saya sia-siakan saya tidak akan pernah menyerah. Mudah-mudahan Allah menunjuki hidayah kepad orang tua saya.

Alhamdulillah, semua GARA-GARA STIBA. Dikampus ini seorang pemuda digembleng dengan ilmu syar’I yang kemudian ditugasakan kedaerah. Orang inilah yang menularkan ilmunya kepada saya.

Jazakalllah khaer yaa…ustadz

BUAT YANG MAU BENAR-BENAR BELAJAR ILMU SYAR’I…AYO BERGABUNG DI STIBA

Arya di Bumi Allah

2 komentar:

Muhammad Ikbal mengatakan...

i like it... keep istiqomah + keep hamasah... ^_^

admin mengatakan...

Jazakallah khaer

Posting Komentar

Copyright © ZONA 554